Friday, September 17, 2010

Tante, Ijinkan Aku Menjadi Korbanmu



Tante, Ijinkan Aku Menjadi Korbanmu! (Nobita & Tante Bonita)

Langit sedang cemerlang; maklum, siang bolong.

Nobita kegerahan. Tangannya mengipas-ngipaskan Koran ke dadanya.

Nobita, 21 tahun, pemuda yang kuliah di banyak fakultas. Punya mimpi jadi orang sukses tapi masih suka ngutang. Punya bakat bicara di depan orang banyak tapi masih malu-malu sama perempuan.

“Ngutang boleh, asal dibayar. Wanita cantik itu enak dipandang, dan diperlukan.”

Itu prinsip Nobita.

Hari itu, Nobita agak stress karena tak punya cukup uang buat beli rokok. Lebaran sudah selesai tapi THR belum juga cair. Maklum, tempat ia kerja sampingan tak mengenal sistem gaji, apalagi yang namanya THR. Daripada bengong sendirian di rumah, Nobita memutuskan untuk keluar.

Ya, aku harus keluar rumah, biar laku dan dapat uang! Bisik hati Nobita sambil tersenyum.

Setelah cuci muka dan dandan seperlunya, kemeja yang sudah seminggu nggak di cuci karena libur lebaran, celana jeans kumal, bersepatu converse, Nobita meninggalkan rumah. Sial, hari itu sopir-sopir angkot lagi demo di dephub karena ada perubahan jalur. Terpaksa ia jalan kaki. Terpaksa lagi ia harus memutar jalan karena utang di warung depan jalan yang biasa ia lewati juga belum di bayar. Sepanjang jalan Nobita berkhayal, jika saja tiba-tiba ada mobil berhenti dan menawarkan ia ikut serta, pasti ia akan sangat berterima kasih.

Eh, law of attraction berlaku. Nobita berpikir mobil, maka mobil itu ada.

Sebuah sedan berjalan pelan di belakang Nobita. Pengemudinya seorang wanita sekira 37 tahun, membunyikan klakson.

Tentu saja Nobita kaget.

Wanita itu tersenyum, sambil mendongakkan kepalanya keluar.

“Hai,” sapanya pada Nobita.

Nobita melongok sejenak. Mencari-cari persamaan dengan orang-orang yang ia kenal. Tak ada yang cocok. Ia pun refleks membalas senyum wanita itu. Senyumnya cukup menggetarkan perasaan.

Sedan berhenti.

“Kelihatannya, kok capek betul,” Tanya wanita itu.

Nobita plingak-plinguk.

“Dari mana mau kemana?” Tanya wanita itu.

“Anu . . . saya mau . . . ke . . . “ jawab Nobita tergagap, sebab memang ia berjalan tak punya tujuan.

Wanita itu tersnyum.

“Jadi nggak ada acara, kan?”

Tiba-tiba Nobita menggelengkan kepala.

Wajah wanita itu berseri-seri.

“Kalau begitu, ikut yuk!” ajak wanita itu.

“Ke . . . ke mana . . . Tante?”

“Maunya kemana?”

Nobita termangu. Kemana? Bisik hati Nobita.

“Ayo deh, masuk kedalam dulu,” ajak wanita itu.

Seperti kena sihir, Nobita akhirnya berjalan membuka pintu sedan belakang.

Tapi wanita itu segera mencegah. “Jangan duduk di situ, dong. Di depan saja, biar lebih intim. Duduk berdampingan kan enak.”

Nobita tak menolak, ia duduk di samping wanita itu.

“Kenalkan dulu, nama saya Bonita,” kata wanita itu sambil mengulurkan tangan.

Nobita menjabatnya dengan gemetar, lalu menyebutkan namanya. “Nobita.”

“Haghaghaghag . . . ”

Nobita mengerutkan kening. Tante ini gila kali ya? Kata Nobita dalam hati.

“Nama kita kok rada-rada mirip gitu ya? Semoga saja jodoh.”

Nobita baru sadar kalau namanya memang mirip dengan nama wanita itu. Nobita hanya tersenyum.

“Cocok juga dengan tampangmu,” kata Bonita sambil menjalankan sedannya.

Nobita diam saja. Apa maksudnya cocok dengan tampangku? Apa benar aku mirip dengan Nobitanya Doraemon? Bisik Nobita dalam hati.

“Kamu pasti orangnya pemalu, tapi kamu tampan juga loh,” kata Bonita.

Nobita masih diam. Tapi hatinya tersenyum karena dibilang tampan.

“Masih kuliah?”

Nobita menggelengkan kepala.

“Sudah bekerja?”

Nobita menggelengkan kepala”

“Nganggur?”

Nobita menggelengkan kepala.

Bonita melirik, agak keheranan. “Tidak kuliah, tidak bekerja, tidak nganggur. Lantas apa kegiatanmu?”

“Ada aja.”

Bonita tertawa.

“Ternyata kamu suka bercanda juga, Nobita.”

Nobita diam lagi.

“Mukamu kok kusut. Kenapa? Belum mandi, ya?”

Wajah Nobita kemerahan. Ia merasa malu. Soalnya, ia memang cuma cuci muka.

“Tante mau bawa saya kemana?” Tanya Nobita.

“Nah, gitu dong. Bertanya. Aku kan jadi merasa benar-benar ada teman bicara.”

“Sebetulnya saya tadi agak kaget. Soalnya . . . “

“Karena diajak naik sedan oleh seorang wanita?”

“Iya.”

“Nobita, kamu sudah punya pacar nggak?”

Nobita tersentak.

“Terus terang saja.”

“Belum.”

“Bohong.”

“Sungguh. Belum.”

“Atau pacarmu banyak?”

“Tidak.”

“Tidak banyak?”

“Maksudku belum. Sama sekali belum,”

Bonita mengernyitkan alis, lalu tersenyum, sambil melirik Nobita sejenak, lantas menggeleng-gelengkan kepala.

“Kamu hebat. Kupikir, lelaki seganteng kamu, punya segudang pacar. Ini benar-benar kejutan.”

“Maksud Tante?”

“Belum pernah aku temui lelaki seperti kamu, Nobita. Pemalu, pendiam dan begitu polos.”

“Tante ini, siapa sesungguhnya?”

“Kamu benar-benar lugu, Nobita.”

“Saya baru pertama kali ini bertemu dengan wanita seperti Tante.”

“Kita memang sama-sama pertama. Maksudku, pertama dalam soal pertemuan yang mengherankan.”

“Jadi, kita mau kemana, Tante?”

“Kamu mau kemana?”

“Terserah sih, Tante.”

Bonita tersenyum, sedannya melaju kencang menuju sebuah rumah yang letaknya terpencil. Mirip tempat peristirahatan atau bungalow.
“Yuk, kita masuk, Nobita,” ajak Bonita.

Nobita mengikutinya, meskipun diliputi keheranan dan waswas. Mau dibawa kemana? Bisik hati Nobita.

“Duduk dulu, Nobita,” kata Bonita.

Nobita menurut saja.

Bonita masuk kedalam, Tak lama kemudian datang lagi membawa dua gelas minuman dingin.

“Silahkan minum, Nobita,”

Nobita meniru Bonita, meneguk minuman yang dihidangkan. Segar.

“Jangan sungkan-sungkan. Ini rumahku. Bebas saja. Rileks. Atau mau mandi dulu?”

Nobita terdiam.

“Kamu benar-benar lugu Nobita. Kau tahu siapa sesungguhnya wanita yang kamu hadapi ini?”

Nobita menggelengkan kepala.

“Nobita, sudah banyak pemuda yang gagah yang kenal aku. Yang memburuku, dan yang kuburu. Yang telah membunuh kesepianku, rasa sakit hatiku, barang sejenak. Tapi, baru kali ini kutemui lelaki sepertimu. Aku yakin kamu memang belum berpengalaman.”

“Tante ini, siapa sebenarnya?”

Bonita menarik napas sejenak, kemudian menceritakan kehidupannya, kekecewaannya pada mantan suaminya yang ternyata cuma butuh penghibur. Datang dan pergi sesuka hatinya hanya untuk kesenangan.

“Aku menjadi seperti aku yang sekarang karena itu. Aku telah bercerai, dan aku berhasil menunjukkan bahwa aku juga mampu seperti dia.”

Nobita melongo.

Termangu.

Bonita menatap Nobita. Nobita melihat mata Bonita mengembang bening.

“Namaku yang sebenarnya bukan Bonita. Itu hanya nama pemberian suamiku karena katanya namaku yang asli kampungan. Nama pemberian orang tuaku adalah Sari.”

Nobita masih diam.

“Jadi, yang sedang kamu hadapi sekarang adalah Bonita, bukan Sari. Gadis lugu itu, yang pemalu, pendiam sepertimu telah lama terkubur, terbenam karena begitu sederhana pikirannya.”

Nobita menghela napas dalam-dalam. Entah mengapa, tiba-tiba saja Nobita merasa iba, merasa terharu.

“Sekarang kamu mengerti, kan? Mengapa aku, Bonita, mengajakmu menemaniku?

Nobita terhenyak.

“Tatap baik-baik wajahku. Usiaku memang makin tua. Tapi apakah wajahku jelek?”

“Tidak, Tante.” Sahut Nobita pelan.

Bonita tersenyum.

“Aku senang sekali mendengar jawabanmu.”

Bonita mendekati Nobita. Duduk di sampingnya.

Jantung Nobita berdegup kencang. Tubuhnya agak gemetar. Ia kelabakan menerima tatapan mata Bonita. Maklum ini pertama kali Nobita mendapat perlakuan seperti yang diperlihatkan Bonita.

“Kamu gagah dan tampan, Nobita,” suara Bonita mendesah.

“Tapi saya belum mandi, Tante.” Sahut Nobita gelagapan.

“Yang membuat orang gagah dan tampan bukan karena mandi. Biar tidak mandi pun kamu tetap gagah dan tampan.”

“Boleh saya mandi dulu, Tante?”

Bonita tersenyum.

“Tentu saja. Setelah mandi, lantas mau kemana?”

“Terserah, Tante.”

“Mandilah. Atau kita mandi sama-sama?”

“Jangan, Tante.”

Nobita diantar kesebuah kamar mandi. Di kamar mandi, Nobita tiba-tiba membayangkan sesuatu.

Mengapa aku tadi menolak mandi bersama Tante Bonita? Bisik hati Nobita. Kalau saja aku tidak menolak, pasti aku bisa menikmati sesuatu yang tak pernah kualami sebelumnya.

Lalu, setelah mandi, apa yang akan terjadi?

Nobita kembali membayangkan sesuatu itu. Nobita lalu cepat-cepat menuntaskan mandinya. Tubuh segar. Nobita pun berdandan serapinya.

Benarkah aku pemalu? Benarkah aku pendiam? Benarkah aku lugu? Mengapa aku mesti kikuk, mesti gelagapan, hanya menghadapi seorang wanita?

Sekarang aku mesti berani!

Nobita lalu menghampiri kembali Bonita di ruang depan, tiba-tiba Nobita agak kaget sebab Bonita tampak sudah siap berangkat.

“Mau ke mana Tante?”

“Sudah beres mandinya?”

“Sudah”

“Kita berangkat saja”

“Ke mana?”

“Pokoknya kita jalan dulu.”

Aneh, hati Nobita tiba-tiba mangkel. Mengapa mesti pergi? Mengapa tidak di sini saja? Mengapa tidak . . . ?

“Ayo, Nobita.”

Nobita tersentak. Mau tak mau, ia mengikuti ajakan Bonita.

Sedan sudah siap. Nobita duduk di samping Bonita. Saat sedan dijalankan, Nobita tampak gelisah.

“Kita mau ke mana, Tante?” Tanya Nobita.

“Kamu mau kemana?” Bonita balik bertanya.

“Terserah, Tante.”

Bonita tersenyum.

“Kalau begitu, jangan tanya mau kemana lagi.”

Sedan melaju kencang. Melewati jalan yang sama ketika mereka menuju rumah Bonita.

Di luar dugaan Nobita, sedan berhenti lagi di tempat semula, tempat Bonita mengajaknya pergi.

“Kamu turun di sini, kan?”

“Iyyaaa,” sahut Nobita gelagapan. Padahal ia ingin bilang; saya ikut Tante saja!

“Silahkan turun, Nobita.”

Nobita pun turun.

“Nobita.”

Nobita menatap Bonita.

“Maafkan aku, ya?”

“Memangnya kenapa, Tante?”

“Hampir saja kamu jadi korbanku.”

Nobita tertegun. Saya ingin jadi korbanmu, Tante! Bisik hati Nobita.

“Kamu pemuda baik, pendiam, pemalu dan lugu. Aku tak mau merusak perjalanan hidupmu.”

Nobita masih diam.

“Okey, Nobita?” Anggap saja pertemuan kita, pertemuan yang tidak ada apa-apanya. Selamat tinggal.”

“Tante.” Panggil Nobita tergagap.

Beri aku kesempatan sekali lagi, ijinkan aku menjadi korbanmu, Tante! Kata Nobita dalam hati.

Bonita tersenyum, melambaikan tangan, kembali menjalankan sedannya. Nobita menatap termangu.

Aku telah menipu perasaanku! Mengapa aku lebih banyak diam, gelagapan, dan termangu?

Nobita kembali ke rumahnya, dengan lunglai.

Langit sedang redup, maklum hari itu mendung.

Tubuhnya bersandar ke kursi.

Arrgggghhh… Aku benar-benar CUMA NUMPANG MANDI! Teriaknya dalam hati.

Tapi… mengapa aku tidak bangga karena terbebas dari maksud tante itu, dan sekarang aku masih perjaka tulen?

Kalau wanita membanggakan keperawanannya, mengapa aku tidak membanggakan keperjakaanku?

Hidup ini memang kadang sulit untuk dipahami.

***
Mohon maaf jika ada kisah yang sama, nama yang sama, rada-rada sama, rumah yang sama atau plat mobil yang sama.

‘Copas inspired’ by : pengalaman teman dari teman, yang kemudian diceritakan oleh teman dari teman kepada saya dan anehnya saya hampir mengalami hal yang sama. Untung saja saya benar-benar TIDAK CUMA NUMPANG MANDI! Tapi numpang sikat gigi, hajatan, dsb:D
Haz Algebra

No comments:

Post a Comment

Related Posts with Thumbnails Related Posts with Thumbnails

palalupeyank

Google Sandbox - Still Important To Success